Hujan deras mengguyur Kawangkoan, sebuah dusun di Kabupaten Minahasa, menyambut kedatangan rombongan wartawan dari Manado, Minahasa, Tomohon, dan Bitung. Rombongan wartawan ini baru saja menyandang status wartawan kompeten hasil asesmen Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia di Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara, belum lama ini. Meski diterpa derasnya air hujan tak menyurutkan niat rombongan ini mengunjungi Tugu Pers Mendur, termasuk Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi.
Udara dingin menggigil mewarnai keprihatinan para wartawan saat menyaksikan langsung kondisi rumah adat Minahasa yang terlihat kumuh dan memprihatinkan.
Rumah dan patung itu merupakan bagian dari Tugu Pers Mendur, yang menjadi penghormatan atas jasa Frans Mendur dan Alex Mendur.
Di pelataran depan rumah adat ini terdapat patung dua orang laki-laki yang berdiri di atas kamera. Dua orang laki-laki itu adalah Frans Soemarto Mendur dan Alex Impurung Mendur.
Kakak-beradik Mendur itu merupakan wartawan yang berjasa dalam mengabadikan peristiwa bersejarah bangsa Indonesia, yaitu Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Sebanyak 113 karya Mendur bersaudara ini terpampang di dinding rumah adat Minahasa yang menjadi museum tersebut. Karya kedua Mendur bersaudara ini juga termasuk peristiwa Jendral Besar Soedirman bertemu dengan Alex Kawilarang usai keluar dari hutan setelah bergerilya melawan penjajah ketika itu.
Yang paling menarik adalah foto ketika Bendera Pusaka Merah Putih sedang dikibarkan oleh petugas pengibar bendera tepat pada 17 Agustus 1945. Selain itu ada foto bersejarah Ir Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia untuk pertama kalinya di depan rumah yang menjadi tempat tinggal Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, yang kini menjadi Jalan Proklamasi.
Di lokasi tugu pers Mendur ini, rombongan wartawan SPRI disambut Pier Mendur, sang penjaga museum. Kepada wartawan Pier menuturkan kisah heroik kedua bersudara Mendur saat meliput dan mengabadikan momentum bersejarah peristiwa detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI dan pengibaran bendera pusaka.
Kisah heroik dua wartawan yang dianugerahi sebagai pahlawan ini banyak ditulis oleh wartawan dari berbagai media sehingga mudah diakses lewat jelajah mesin pencarian Google.
Yang pasti, menurut penuturan Pier, jika film dan cetakan foto peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu ketahuan dan mereka tertangkap oleh tentara Jepang ketika itu, maka hukuman yang menunggu mereka adalah dijebloskan ke penjara atau hukuman mati.
Sayangnya taruhan nyawa dan bukti penting sejarah berdirinya Indonesia sebagai negara berdaulat ternyata hanya menjadi bagian sejarah yang nyaris terabaikan.
Rumah adat itu sendiri hanya dibangun dengan dana pribadi seorang Gubernur Sulawesi Utara yang ketika itu dijabat almarhum Sinyo Harry Sarundajang. Kepedulian seorang Sarundajang itu, rupanya belum mampu membuka nurani pejabat pemerintah pusat dan para pejabat se-Sulut yang ada sekarang, untuk memperhatikan kondisi Museum dan tugu Pers Mendur ini.
Kondisi museum Mendur ini sudah sangat tidak layak. Berbagai barang kamera bersejarah milik kedua wartawan Mendur bersaudara ini hanya dimasukim dalam sebuah peti dan sewaktu-waktu dikeluarkan ketika ada pengunjung yang datang. Kemanan barang bersejarah ini sangat rentan dicuri karena kondisi bangunan sangat tidak layak menyimpan barang bersejarah tersebut.
Padahal harga barang-barang kamera peninggalan dua Mendur bersaudara ini, menurut Pier, sudah pernah ditawari oleh sejumlah turis dari mancanegara dengan nilai yang cukup fantastis mencapai miliaran rupiah.
Sementara, di lantai bawah bangunan yang terbuat dari papan kayu ini banyak yang sudah mulai keropos dimakan rayap.
Pier sang penjaga museum pun mengaku tak digaji dalam menjalankan tugasnya. Biaya operasional perawatan museum, kata Pier, hanya diambil dari dana pribadinya.
“Tak ada sama sekali biaya pemerintah dan pihak manapun. Semua biaya pribadi kami pihak keluarga,” tutur Pier, yang masih merupakan keponakan Mendur bersudara.
Pier sendiri mengaku pernah menjalani profesi sebagai jurnalis di media nasional di Jakarta. Saat kejadian kerusahan Mei tahun 1998 di Semanggi dan di depan Universitas Trisakti, dia sempat ikut meliput langsung.
Usai menikmati kisah sejarah di tugu pers Mendur ini, rombongan wartawan melanjutkan kegiatan dadakannya pasca SKW usai, menuju rumah kopi Kawangkoan untuk menikmati sajian Bakpao atau Biapong khas Kawangkoan ditemani secangkir kopi panas.
Discussion about this post